MediaJurnalis — Proses hukum yang menjerat dua tokoh nasional, Thomas Trikasih Lembong dan Hasto Kristiyanto, dinilai sarat kepentingan politik. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai kedua kasus tersebut lebih menyerupai peradilan politik (political trial) dibanding proses hukum murni.
"Saya menyebutkan proses peradilan itu sebagai political trial, ya, peradilan politik. Di mana cirinya sederhana: memastikan proses peradilan itu bisa membunuh oposisi," ujar Feri saat menjadi pembicara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta, Senin (21/7/2025).
Kritik terhadap Putusan Kasus Tom Lembong
Mantan Menteri Perdagangan RI periode 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dalam kasus korupsi importasi gula.
Menurut Feri, putusan itu janggal karena mendasarkan kesalahan terdakwa pada preferensi kebijakan ekonomi.
"Saya belum belajar itu, mungkin hakimnya sudah, bahwa seseorang bisa dipidana karena menganut satu paham ekonomi tertentu, dalam hal ini kapitalisme," sindir Feri.
Ia menekankan bahwa hukum pidana mengenal dua unsur penting: mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat). Jika dua unsur ini tidak terbukti, vonis pidana seharusnya tidak dijatuhkan.
"Kalau memang ada niat dan tindakan jahat dalam kasus impor gula, mengapa pihak-pihak lain yang juga terlibat, bahkan menyebabkan kerugian negara, tidak ikut diproses hukum?" tambahnya.
Hasto Kristiyanto dan Dugaan Suap Proses PAW
Feri juga menyoroti kasus Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, yang diduga terlibat dalam suap pengurusan pergantian antar waktu (PAW) dan perintangan penyidikan. Ia membandingkan kasus ini dengan perkara Harun Masiku yang hingga kini belum tuntas.
"Pertanyaan besarnya, kenapa hanya lawan politik kekuasaan yang kemudian diajukan perkaranya ke pengadilan?" ungkap Feri.
Menurutnya, skema PAW adalah tanggung jawab struktural partai, termasuk ketua umum dan sekretaris jenderal. Artinya, praktik serupa bisa saja terjadi di partai politik lain namun tidak ditindak secara hukum.
Putusan Pengadilan dan Respons Jaksa
Dalam sidang yang digelar Jumat (18/7/2025), Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika menyatakan Tom Lembong terbukti menerbitkan 21 Persetujuan Impor (PI) gula kristal mentah untuk perusahaan swasta serta koperasi dalam program operasi pasar, yang menurut hakim melanggar aturan.
Namun, Tom tidak dihukum membayar uang pengganti karena tidak terbukti menerima aliran dana dari hasil korupsi tersebut.
Sementara itu, jaksa penuntut umum menyatakan masih pikir-pikir atas vonis tersebut, membuka kemungkinan banding.
Pernyataan Feri Amsari menjadi refleksi serius atas dinamika hukum dan politik di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa hukum seharusnya menjadi instrumen keadilan, bukan alat untuk menekan oposisi atau melanggengkan kekuasaan.