Notification

×

Iklan

Iklan

MA Potong Hukuman Setya Novanto Jadi 12,5 Tahun

03 Juli 2025 | Juli 03, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-07-03T04:06:33Z




MediaJurnalisMahkamah Agung (MA) kembali memicu perdebatan publik setelah memutuskan mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana kasus mega korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto. Vonis mantan Ketua DPR RI itu dipangkas dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.


Putusan tersebut tertuang dalam perkara nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 dan diumumkan melalui situs resmi MA pada Rabu (2/7/2025). Novanto dinyatakan tetap terbukti melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.


Selain hukuman badan, MA menjatuhkan denda sebesar Rp500 juta dengan subsidair enam bulan kurungan, serta mewajibkan Novanto membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta. Dari jumlah itu, dikompensasi Rp5 miliar yang telah lebih dulu dikembalikan ke penyidik KPK. Sisa uang pengganti senilai Rp49 miliar wajib dibayar atau diganti dengan tambahan dua tahun penjara.


Tak hanya itu, masa pencabutan hak politik Setya Novanto juga dipangkas, dari lima tahun menjadi dua tahun enam bulan setelah masa pidana pokok berakhir.


KPK Menghormati, Meski Tak Dapat Banding


Wakil Ketua KPK, Fitroh Rochayanto, menyatakan bahwa pihaknya menghormati putusan tersebut meskipun ada pengurangan hukuman. Menurutnya, KPK tidak memiliki jalur hukum untuk mengajukan keberatan atas putusan PK tersebut karena memang tidak diatur dalam perundang-undangan.


Sementara itu, Wakil Ketua KPK lainnya, Johanis Tanak, menekankan pentingnya prinsip independensi lembaga peradilan dalam mengambil keputusan. Ia menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.


Namun, Johanis juga menilai bahwa semestinya pelaku korupsi dijatuhi hukuman seberat-beratnya karena korupsi adalah kejahatan luar biasa yang merusak fondasi negara.


“Sudah seharusnya penegakan hukum terhadap korupsi dilakukan dengan cara yang luar biasa pula,” ujarnya.


Pengacara Minta Pembebasan, Bukan Pengurangan


Di sisi lain, kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, justru menganggap pengurangan hukuman tersebut belum cukup. Menurutnya, kliennya seharusnya dibebaskan karena tidak memiliki kewenangan dalam proyek e-KTP.


Maqdir menilai bahwa Novanto tidak terlibat secara langsung dalam pengadaan proyek e-KTP karena bukan bagian dari Komisi II DPR RI. Oleh karena itu, ia menolak pasal yang digunakan untuk memidana kliennya, dan berpendapat bahwa seharusnya Novanto hanya dikenai pasal suap atau gratifikasi.


“Dakwaan yang lebih tepat adalah pasal suap. Karena tidak punya jabatan terkait, maka menerima uang itu seharusnya masuk dalam gratifikasi,” jelasnya.


Putusan yang Meninggalkan Pertanyaan


Kasus e-KTP yang menyeret banyak tokoh penting masih menjadi salah satu skandal korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia. Putusan MA yang memangkas hukuman Novanto kini menambah catatan penting dalam penegakan hukum di Indonesia.


Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang diharapkan publik semakin tegas, langkah pengurangan hukuman terhadap aktor utama kasus ini menimbulkan perdebatan baru soal konsistensi dan keadilan dalam sistem peradilan pidana kita.


×
Berita Terbaru Update